Dr Muchammad Bayu Tejo Sampurno – Kurator Seni
Seni inklusi dan estetika relasional: Menciptakan hubungan sosial yang berkelanjutan. Saya ingin berpendapat bahwa Pameran Lukisan Inklusif “SUPERHUMAN ART” dengan tema “Atas Rasa Tjinta” (ART) memiliki potensi untuk menyistematikkan beragam wacana seni dan disabilitas/difabel. Kurator Prancis, Nicolas Bourriaud (2002), menciptakan istilah terkait “estetika relasional” dengan menyistematikkan berbagai praktik seni yang menyoroti hubungan individual hingga sosial. Mari kita mengingat kembali bahwa mulai tahun 1990-an, karya seni diciptakan di mana audiens didorong untuk berhubungan satu sama lain dengan cara baru. Contohnya adalah seniman memasak di ruang galeri dan kolektif seni yang berkontribusi pada perbaikan sosial dan material di lingkungan marginal (Bishop 2012). Terjadi perubahan fokus dalam seni dari produksi objek ke pertunjukan. Praktik seni dan praktik sosial, atau, aspek estetis dan politik, digabungkan. Salah satu pandangan tentang Pameran Lukisan Inklusif “SUPERHUMAN ART” dengan tema “Atas Rasa Tjinta” (ART) sebagai seni praktik sosial adalah bahwa yang dipamerkan adalah kumpulan praktik seni yang membantu kita membayangkan institusi sosial yang berkelanjutan, terutama soal seni, inklusif, disabilitas/difabel yang cenderung menciptakan hubungan yang berlangsung lama dan membayangkan bahwa “ketergantungan” menjadi bagian vital dari cara hidup kita dengan cara baru.
Inklusif tidak membuat wacana-wacana yang sudah ada tentang disabilitas/difabel dan seni menjadi usang. Pemahaman tentang disabilitas/difabel dan seni masih membutuhkan keragaman dalam konseptualisasi disabilitas/difabel dan seni agar diakui sebagai bagian dari sejumlah wacana yang memiliki logika institusional dan hubungan kekuatan yang berbeda. Juga, terdapat potensi-potensi penting ketika praktik seni yang melibatkan disabilitas/difabel menjadi sorotan utama dalam perspektif seni kontemporer. Inklusi praktik seni terkait disabilitas/difabel dalam praktik seni sosial adalah pengakuan yang kuat terhadap pentingnya disabilitas/difabel dalam masyarakat. Bersama-sama, inklusivitas karya seni, karya seni inklusi, wacana interdisiplinernya (terapi seni, outsider art, seni disabilitas, dan estetika disabilitas) dalam praktik seni sosial merupakan sumber daya yang kuat, baik untuk mengakui seniman dengan disabilitas/difabel akan mengatasi isu-isu disabilitas/difabel dengan cara inklusif. Seni, seperti kehidupan, pada dasarnya adalah proses kolektif melibatkan banyak dan ragam individu.
Perlahan tapi pasti. Karya seni inklusif akan lebih berkembang dengan diberi keyakinan bahwa mereka dapat melakukannya. Mereka membutuhkan dukungan positif untuk setiap pencapaian. Melihat karya seni inklusif tidak hanya sebatas melihat, tidak sebatas menikmati, melainkan merasakan setiap goresan dan coretannya yang penuh dengan tempo, tekanan, spontanitas, dan harmoninya masing-masing. Dengan begitu, keistimewaan karya inklusif tidak hanya disadarkan pada detail yang disusun pada rangkaian sistem tanda, melainkan lantunan pengalaman, lantunan rasa yang membuatnya semakin dalam bak lautan tak berdasar.